Rabu, 14 Mei 2008

Pariwisata dan Stagnasi Seni Budaya Bali

Sudah hampir tiga dasawarsa pariwisata menjadi andalan perekonomian Bali. Sehingga terbentuk sebuah prinsip dalam pemikiran orang Bali bahwa kita akan menjadi berhasil dalam hidup jika mampu menjadi bagian dari pariwisata itu. Kondisi ini menghegemoni orang Bali untuk berprilaku industri. Segala sumber daya harus dikemas sedemikian rupa untuk dijadikan komoditas pariwisata.

Demikian halnya dibidang seni budaya, jarang sekali seniman muda Bali yang mau melakoni kesenian dengan mengabdi pada kesenian itu sendiri. Sedikit sekali yang berkesenian secara ikhlas sehingga seni budaya Bali menuju pada posisi stagnasi. Kecil kemungkinan lahirnya kreasi atau bentuk baru.

Ada semacam ketakutan dari sebagian besar pelaku kesenian, karyanya tidak laku. Jiwa materialis yang dibentuk doktrin industri menyebabkan seniman tari dan tabuh harus mempertimbangkan karyanya laku tidak dipentaskan di hotel. Seniman lukis sibuk membaca selera pasar, lakukah atau adakah nanti galeri yang akan mengkurasinya.

Bukan hanya dalam kesenian-kesenian yang termasuk mayor di Bali, dalam kesenian-kesenian minor yaitu seni modern juga mengalami stagnasi. Memang ini bukan pengaruh pariwisata secara langsung namun tidak terlepas dari ketidakkreatifan lagi orang Balifollow the leader yang tertanam melalui doktrin industri. Apa yang laku lalu diproduksi massal! Puisi-puisi yang tercipta seolah-olah terjebak pada sebuah mazab yang berlaku dan dianggap puisi baik. Teater yang dipentaskan sangat monoton dan itu-itu saja. Pemahaman terhadap film hanya sebatas sinetron dan kesemuanya terjebak hanya pada diskusi teknis. akibat dari budaya

Anehnya
mereka tetap asyik dan merasa sudah cukup mapan dalam berkesenian. Mungkin mereka sudah merasa bahwa seni di Bali sudah sempurna dan menjadi ukuran seni yang “baik dan benar”. Diskusi-diskusi tidak terlalu mendapat perhatian. Justru kesannya bagaimana mereka mendapatkan perhatian, dalam hal ini pasar. Siapa pun tahu Bali sangat kaya sumber daya seni budaya sehingga layak disebut sebagai laboratorium kebudayaan Indonesia yang semestinya mampu melahirkan seni-seni budaya baru yang sifatnya memperkaya khazanah budaya yang telah ada. Namun, akhirnya hanya menjadi dapur industri seni budaya itu sendiri. (dap)

5 komentar:

Mata Telinga mengatakan...

SAya rasa kejadian kaya gitu gak cuma di Bali, setiap daerah pasti mengalami hal tersebut seperti daerah asal saya juga Bali (Balitar/Blitar) hehehehee... Hanya saja kadang kesadaran dan kearifan masyarakat akan budayanya bisa membantu keberadaan budaynya tersebut. Kalo saya lihat di Solo yang sebenarnya sama sama menjual budaya sebagai wisata, perkembangan keseniannya cukup maju. Mungkin juga karena adanya sekolah seni seperti ISI Surakarta. Di Bali ada khan ?

Anonim mengatakan...

menurut saya karena jaman sekarang ini orangorang menganggap mengembangkan budaya sendiri bukanlah hal yang utama, dan tak komersil dalam waktu yang cepat.semacam "kenapa harus dikembangkan kalau dengan yang sudah ada saja sudah bisa dapat duit".

Ayumi Galuh mengatakan...

Padahal kan sesuai dengan peraturan daerah bahwa pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya.


Visit: http://www.tanahlot.net

Dadap mengatakan...

begitulah... orang bali terkondisikan materialis... walaupun jumlah uang yang diterima sedikit... contohnya, sekehe (grup) gamelan yang dengan bangga naik truk, rela menempuh perjalanan berkilometer demi mentas di hotel berbintang...

wendra wijaya mengatakan...

Itulah yang sering ku sebut sebagai runtuhnya mentalitas masyarakat Bali. Semuanya dikomersilkan, termasuk seni budaya yang menjadi kebanggaan masyarakatnya. Kekhawatiranku hanya satu, seni budaya Bali tidak ada nilainya lagi di mata dunia. Kalau sudah begini, apa yang dapat kita banggakan dari Bali???