Senin, 28 Juli 2008

Kehidupan Minor di Surga Dunia

Siapa pun pasti takkan menyangkal eksotisme yang ditawarkan panorama puncak gunung Batur. Begitu banyak pilihan lereng terjal yang menegangkan untuk ditaklukkan. Setiap puncak yang dilalui selalu mengajak untuk menetap lebih lama, tidak ingin pulang! Berangkatlah dini hari agar dapat menikmati sunrise. Jika kita melihat sunrise di samudra pantulannya berada di atas laut namun dari puncak Batur pantulan sunrise berada di atas embun yang belum cukup suhu mengangkatnya dari dasar lembah. Sebuah ritual alam yang sangat mengagumkan!

Di balik semua keindahannya, ternyata di surga itu ada kehidupan-kehidupan minor yang memprihatinkan. Merambahnya pembangunan ternyata tidak segencar niat wisatawan untuk menikmati alam Batur. Paling tidak ada 3 warung di puncak gunung dan 2 warung di lereng yang menunjukkan sebuah perjuangan hidup yang luar biasa. Kaki-kaki tua terlatih mereka mampu mengantarkan coca-cola ke puncak hanya dalam waktu sejam saja! Padahal idealnya dibutuhkan waktu 3 jam untuk mencapai puncak.

Kemiskinan, itulah alasan klise yang memaksa mereka memilih hidup setangguh itu. Walaupun disadari atau tidak usaha ilegal tersebut dapat merusak alam sekitarnya. Bukan hanya hutan lindung yang dibuka untuk membangun warung tetapi akhirnya mereka juga memelihara sapi disana. Pohon-pohon kecil dirabas untuk diambil daunnya sebagai pakan ternak dan kayunya dijadikan kayu bakar. Kata “Dilarang” tentunya takkan mudah diaplikasikan dalam masyarakat adat yang “rasa memiliki”-nya sudah terbentuk beratus tahun-tahun. Demikian juga pada masyarakat di sekitar gunung Batur. Diperlukan sebuah solusi yang lebih dari sekedar aturan hukum yang bersifat memaksa.

Di kaki gunung aku bertemu seorang anak, mengaku bernama Riandika, kelas satu SD, dari keluarga yang terlihat sangat miskin. Makan jambu dan pisang dengan tangan yang kotor. Kakinya tanpa sandal ditenggelamkan ke dalam debu. Mengaku bersekolah sangat jauh dan terbiasa tanpa sandal atau sepatu. Setiap kamera diarahkan padanya dengan sangat sadar kamera ia tersenyum. Keramahannya membuatku mengeluarkan dompet, aku beri dia lima ribu. Tapi aku tidak mau melakukan pembodohan dan berpesan agar jangan sekali-kali minta uang pada wisatawan, keramahannya cukup membuat wisatawan memberimu sesuatu. Dengan bahasa daerah yang panjang lebar tentunya dengan harapan membuatnya mengerti. (dap)

Klise sekali sebenarnya yang aku tulis ini

6 komentar:

wendra wijaya mengatakan...

apa yang harus kutulis???

semuanya bisa aku rasakan Dap..

sesuatu yang entah...

Sakti Soediro mengatakan...

*struck in love :) with how wonderful life cud be...mas dap ajak kita kita dong kalo adventuran...pleasee...

Anonim mengatakan...

don't feel hard
you'll already done the best

Wulandari mengatakan...

terharu nich, seorang anak muda seperti anda mampu memposisikan cinta kasih tulus kepada mereka yg membutuhkan, selamat yaa..??

Arjuna Valentino mengatakan...

huebat dap..sekali lagi hebat..!!haha pingin kapan2 ikut bertualang seru nichhh. Ku kagum dengan ketulusan dan kepedulianmu pada sesama hehehehe

jurex.photography mengatakan...

semoga hal ini berkembang dap,sedikit pemuda bali yang menjaga tanah kita dengan hatinya....