Rabu, 26/11 kemarin, saya menghadiri peluncuran buku seorang kawan di kampus Undiksha, Buleleng. Berangkat bersama kawan namun karena kawan saya itu langsung pulang ke Jembrana, saya balik ke Denpasar naik angkutan umum.
Seorang kawan mengantar sampai ke Terminal Sukasada. Pemandangan umumnya terminal di Bali pasca merajalelanya sepeda motor juga saya temui disana. Hanya belasan angkot jenis mikrobus tampak berbaris menunggu antrian di terminal keberangkatan. Ukurannya yang lumayan luas, membuat terminal itu tampak sangat sepi. Tidak seperti terminal-terminal di tahu 80-an dimana terminal identik dengan hiruk-pikuk manusia. Bahkan, tak satu pun pedagang keliling tampak di terminal itu.
Seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan seragam Dinas Perhubungan (Dishub) mempersilahkan dan bahkan mengantarkan saya ke sebuah mikrobus tujuan Denpasar. Angkot yang berada di antrean terdepan tersebut sudah berisi 7 orang penumpang, yang jikalau berpatokan pada kapasitas angkut orang yang tertera pada uji kir di badan angkot artinya setengah dari kapasitanya sudah terisi. Sangat baik hati petugas Dinas Perhubungan itu, pikir saya dalam hati.
Namun kejanggalan mulai muncul tatkala petugas tersebut terlihat terlalu baik hati. Petugas itu membantu seorang penumpang mengangkat barang-barang bawaannya ke dalam angkot. Wah, ternyata petugas Dishub tersebut nyambi menjadi makelar penumpang.
Setelah hampir satu jam saya duduk di dalam angkot, calon penumpang ke-14 akhirnya datang. Seperti sebelumnya, petugas Dishub itu membantu membawakan barang-barangnya. Saat petugas itu memasuki angkot saya iseng bertanya, jam berapa angkot ini akan berangkat. Petugas itu mengatakan bahwa angkot akan berangkat setelah tempat duduknya penuh. Padahal tempat duduk sudah sangat penuh dan saya bersama penumpang-penumpang lainnya sudah sesak oleh barang-barang.
Kembali saya bertanya, memangnya berapa kapasitas angkot ini. Petugas itu mengatakan kapasitasnya empat belas. Lalu saya menunjuk daya angkut angkot itu yang tertera di badan kendaraan, daya angkutnya cuma 14 orang. Dengan polos ia menjawab, “Itu khan aturannya, kenyataannya tempat duduknya 17!” sambil ia memasang tiga buah kursi tambahan yang sangat tidak layak di lorong angkot. “Bapak tidak ditugaskan menegakkan aturan itu, Pak?” tanya saya. Ia menjawab, “Tidak ada atasan memerintahkan saya.”
Saya tidak memperpanjang pertanyaan saya lagi. Selanjutnya petugas itu datang lagi dan berkata, “Bapak-bapak dan Ibu-Ibu hari sudah sore tapi mobil ini belum penuh bagaimana kalau kita berangkat sekarang tapi ongkosnya jadi nambah 5 ribu untuk mengganti kursi yang kosong ini.” Kontan saja semua penumpang menolak dan protes terhadap petugas itu. Namun ia tak menanggapi bahkan berkata, “Ya sudah, malam kita berangkat!” Beberapa penumpang mulai kesal dan ada yang memprovokasi agar kami keluar saja.
Beberapa saat kemudian, petugas itu datang lagi dan memerintahkan agar kami membayar ongkos sebesar 20 ribu sebelum angkot berangkat. Beberapa penumpang protes karena biasanya ongkos dibayar setelah sampai di tujuan. Namun petugas itu bersikeras agar semua penumpang segera membayar.
Di depan kami semua tampak ia memberikan uang hasil pungutannya tersebut kepada laki-laki yang ternyata sopir angkot itu. Sebagian uang tersebut dimasukkan ke tas pinggangnya. Setelah hampir dua jam menunggu angkot berangkat dengan total 21 orang termasuk dua anak-anak, sopir dan kenek ditambah barang-barang. Perjalanan berliku nan terjal Singaraja-Denpasar kami lalui dengan sangat was-was.
Sebenarnya saya cukup maklum terhadap perilaku pengelola angkot kenapa angkot harus dipaksa melebihi kapasitas, mengingat harga BBM yang sangat tinggi. Yang sangat saya sayangkan adalah perilaku busuk petugas Dishub di terminal tersebut. Tidak akan terlalu dipermasalahkan jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang biasa dan tentunya masyarakat khususnya penumpang pasti sangat permisif. Namun di Terminal Sukasada, Singaraja, Buleleng-Bali, petugas Dishub yang semestinya menertibkan terminal untuk menjaga keamanan, kenyamanan dan keselamatan para pengguna angkutan umum justru menjadi makelar penumpang dan ia mengambil keuntungan dengan menjejalkan penumpang ke dalam angkot yang telah melewati kapasitas.
Bercermin dari kasus ini kita dapat melihat betapa bobroknya kinerja Dishub. Tidak perlu heran jika banyak kecelakaan angkutan umum baik di darat, laut maupun di udara yang disebabkan oleh ketidakdisiplinan para penyelenggara layanan angkutan umum, dimana Dishub adalah pengawasnya. (dap)